Sunday 7 September 2014

Malpraktik vs UU Kesehatan


Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Tuduhan akan adanya Malapraktik sebenarnya bukan hanya ditujukan pada mereka yang berprofesi sebagai Tenaga Kesehatan yang salah satunya adalah Dokter, akan tetapi tuduhan Malapraktik dapat dituduhkan kepada semua kelompok Profesionalis, yaitu apakah mereka itu kelompok Wartawan, Advokat, Paranormal dan kelompok lainnya. Pengertian Malapraktik selama ini banyak diambil dari kalangan mereka yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan, terutama Dokter.

Sedang batasan pengertian umum tentang Malpraktik di kalangan tenaga kesehatan adalah ; Seseorang tenaga kesehatan dalam memberikan tanggungjawab profesinya kepada pasien dilakukan di luar prosedure dan stardard profesi pada umumnya yang berakibat cacat dan matinya sang pasien. Namun rumusan akan standard profesi yang bersifat baku, khususnya bagi tenaga kesehatan (Dokter) secara tegas belum ada dirumuskan di dalam undang-undang.

Adapun mengenai ukuran tentang standard profesi bisa kita adopsi pendapat seorang ahli hukum tenaga kesehatan, Prof. Mr.W.B. Van der Mijn, yang mengatakan seorang tenaga kesehatan perlu berpegang pada 3 (tiga) ukuran umum, yaitu : 1. Kewenangan ; 2. Kemampuan rata-rata ; dan 3. Ketelitian yang umum ; Disini maksudnya seorang Tenaga Kesehatan harus memiliki kewenangan hukum untuk melaksanakan pekerjaannya (Rechtsbevoegheid) bisa berupa ijin praktik bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya, bisa berupa Badan Hukum dan Perijinan lain bagi penyelenggara kesehatan seperti rumah sakit atau klinik-klinik.

Selanjutnya Tenaga Kesehatan harus memiliki kemampuan rata-rata yang ditentukan berdasarkan pengalaman kerja dalam linkungan yang menunjang pekerjaannya dan kemudian Tenaga Kesehatan harus memiliki ketelitian kerja yang ukuran ketelitian itu sangatlah bervariasi. Namun betapapun sulitnya untuk merumuskan rating scale (skala pengukuran) tentang standard profesi Tenaga Kesehatan, Undang-undang mengharuskan mereka yang berprofesi sebagai Tenaga Kesehatan berkewajiban mematuhi standard profesi dan menghormati hak pasien.(vide : pasal 53 ayat 2 UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan). Dan setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. (Vide : pasal 55 ayat 1 UU No.23 tahun 1992).

Dan bagi tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin yang ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan ( Vide: pasal 54 ayat 1 dan 2 dari UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan Jo. PP. No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan ). Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) inilah yang berhak dan berwenang untuk meneliti dan menentukan ada-tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standard profesi yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan terhadap mereka yang disebut sebagai pasien. ( vide : pasal 5 dari Kepres RI No.56 tahun 1995 tentang MDTK ).

Pada dasarnya seorang tenaga kesehatan apakah dia dokter, perawat, kefarmasian,tenaga gizi, dan tenaga lainnya tidak hanya dapat digugat dan dituntut berdasarkan adanya malpraktik, akan tetapi tenaga kesehatan dapat juga digugat berdasarkan pelanggaran akan hak-hak pasien yang timbul dengan adanya kontrak terapeutik antara tenaga kesehatan dengan pasien antara lain : 1. Hak atas informasi tentang penyakitnya; 2. Hak untuk memberi infotmed consent untuk pasien yang tidak sadar; 3. Hak untuk dirahasiakan tentang penyakitnya ; 4. Hak atas ikhtikad baik dari dokter; dan 5. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang sebaik-baiknya. Dari hak-hak pasien tersebut yang paling penting disini adalah hak tentang informasi dari pasien bersangkutan yang biasanya berisi tentang : Diagnosa, terapi dengan kemungkinan alternatif terapi, tentang cara kerja dan pengalaman dokter, tentang resiko, tentang kemungkinan rasa sakit atau perasaan lainnya sebagai akibat dilakukannya tindakan medis, tentang keuntungan terapi dan prognose.

Tenaga kesehatan dapat digugat berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata Jo. pasal 55 UU No.23 tahun 1992 dan dapat dituntut pidana berdasarkan pasal 359, 360 dan 361 KUHP, pasal 80, 81, 82 dari UU No.23 tahun 1992 dan ketentuan pidana lainnya. Di samping hak-hak pasien, disini perlu juga kita kemukakan sedikit tentang hak-hak tenaga kesehatan khususnya para dokter. Adapun mengenai hak-hak dokter dapat dikemukakan sbb : Hak untuk berkerja menurut standard profesi medis, hak menolak untuk melaksanakan tindakan medis yang tidak dapat ia pertanggungjawabkan secara profesional, hak untuk menolak yang menurut suara hatinya tidak baik, hak mengakhiri hubungan dengan pasien jika ia menilai kerjasamanya dengan pasien tidak ada gunanya lagi, hak atas privacy dokter, hak atas ikhtikat baik dari pasien dalam pelaksanaan kontrak terapeutik (penyembuhan), hak atas balas jasa, hak untuk membela diri dan hak memilih pasien namun hak ini tidak mutlak sifatnya. Jadi disini dapat ditarik kesimpulan bahwa Malapraktik erat hubungannya dengan pelanggaran terhadap standard profesi medik, pelanggaran prosedure tindakan medik, dan bagi pelanggarnya tentu dapat digugat, dituntut pidana dan diberi sanksi administratif berupa pencabutan ijin praktik.

PENGEMBANGAN YURISPRUDENSI TETAP


PENGEMBANGAN YURISPRUDENSI TETAP



   oleh
                                             Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.
          Sumber hukum yang dikenal selama ini adalah kebiasaan, undang-undang, yurisprudensi, hukum perjanjian internasional dan doktrin.
           Dalam ajaran penemuan hukum undang-undang diprioritaskan dari sumber-sumber hukum lainnya. Undang-undang didahulukan dari sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari arti istilah atau pengertian hukum, maka dicari terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan, kalau ternyata tidak ada, maka barulah dicari dalam yurisprudensi, kalau dalam yurisprudensi tidak terdapat, maka barulah dicari dalam hukum kebiasaan dan begitu seterusnya. Hal ini dapat difahami, karena di samping undang-undang itu bersifat umum yang berarti berlaku bagi setiap orang, bentuknya tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu dapat difahami pula munculnya aliran legisme dalam penemuan hukum yang menganggap bahwa undang-undang adalah satusatunya sumber hukum. Aliran ini kemudian mengalami perkembangan.
             Di dalam praktek ternyata prosedur atau uruturutan dalam ajaran penemuan hukum tersebut sering tidak diperhatikan. Orang misalnya tidak lari kepada peraturan perundang-undangan terlebih dahuludalam menemukan hukumnya, tetapi langsung mencarinya dalam doktrin, sehingga penemuan hukumnya tidak tepat.
               Jadi undang-undang mempunyai kedudukan yang penting dalam penemuan hukum.
Sebaliknya perlu diketahui, bahwa di samping undang-undang itu umum dan abstrak sifatnya ("Barangsiapa .. . "), sifatnya juga pasif. Pasif berarti menunggu terjadinya suatu peristiwa konkrit untuk dapat dilaksanakan. Undang-undang aktif, baru hidup, baru dapat dilaksanakan apabila terjadi peristiwa konkrit. mencuri dihukum". Ketentuan undang-undang ini baru dapat dilaksanakan apabila seseorang mengambil barang orang lain dengan maksud memilikinya dengan melawan hukum. Baru dengan terjadinya peristiwa konkrit itu undang-undang menjadi aktif, hidup, mempunyai kekuasaan dan dapat dilaksanakan. Jadi undang-undang memerlukan "aktivator" berupa peristiwa konkrit, agar undang-undang itu dapat diterapkan pada peristiwanya, agar dapat dilaksanakan. Tanpa terjadinya suatu peristiwa konkrit pada hakekatnya undang-undang "ist nur ein Plan", sekedar merupakan pedoman yang berisi peringatan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan atau diterapkan terhadap peristiwanya.
Undang-undang itu sendiri, karena sifatnya yang statis tidak dapat setiap saat berkembang, berubah atau diubah sesuai atau mengikuti perkembangan masyarakat, tetapi harus melalui prosedur yang waktu lama.
Karena undang-undang itu statis, maka pelaksanaan dan perkembangannya terjadi melalui peradilan dengan putusan pengadilan atau yurisprudensi. Dengan penemuan hukum maka hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan dilaksanakan dan dikembangkan oleh peradilan dengan yurisprudensi sesuai atau mengikuti perkembangan masyarakat.
             Walaupun sekarang ini banyak produk legislatif dari zaman Hindia Belanda, yang bersifat kolonial itu (tidak semua yang bersifat kolonial itu selalu tidak baik!), masih berlaku, namun pelaksanaan dan pengembangan terjadi melalui peradilan nasional Indonesia. Hal ini tidak berarti bahwa dewasa ini tidak perlu ada perubahan, penggantian, penghapusan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan, baik peraturan perundang-undangan kolonial maupun nasional. Dewasa ini tidak sedikit peraturan perundang-undangan baik yang berasal dari zaman kolonial maupun yang nasional yang perlu diganti. Hanya kalau sekiranya diinginkan adanya penggantian atau penghapusan peraturan perundang-undangan, terutama yang kolonial, maka harus ada motivasi yang kuat akan urgensi kebutuhan akan adanya penggantian atau penghapusan itu, baik untuk mengatasi masalah yang selama ini timbul dan tidak tertampung oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (respresif) maupun untuk mencegah atau menangkal kemudian terjadi masalah-masalah baru(preventif). Jadi tidak sekedar ingin karena yang ada bersifat kolonial, sudah tua, tidak sesuai lagi atau karena ingin sesuatu baru. Kecuali itu harus diperhatikan tetap adanya kontinuitas antara peraturan perundang-undangan yang lama dengan yang baru dan penyusunannya harus koordinatif dengan instansi-¬instansi yang terkait serta menyeluruh dan tidak bersifat tambal sulam.
Jadi yurisprudensi (judge-made-law) mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan pengembangan hukum.
        Didalam sistem peradilan kita asasnya ialah bahwa hakim tidak terikat pada putusan hakim yang ada mengenai perkara yang sejenis. Hakim tidak ada keharusan untuk memutus suatu perkara sama dengan putusan hakim yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang sejenis. Jadi pada asasnya hakim bebas untuk memutus setiap perkara menurut keyakinannya tanpa harus berkeblat kepada putusan yang ada mengenai perkara yang sejenis. Di satu pihak hakim memang bebas, hal mana memenuhi salah satu asas peradilan, tetapi di lain pihak timbul pertanyaan apakah asas ini menjamin kepastian hukum. Kalau setiap tahkim memutus menurut keyakinannya masing-masing tanpa mengingat adanya putusan mengenai perkara sejenis yang ada, sehingga memungkinkan dijatuhkannya dua perkara atau lebih yang sejenis yang diputus berbeda, apakah hal ini menunjukan adanya kepastian hukum? Di dalam perkembangannya sekarang ini kita lihat bahwa banyak putusan yang berkeblat kepada putusan pengadilan atasannya (PT, MA). Hal ini bukan berarti bahwa hakim Indonesia sekarang ini terikat pada putusan hakim yang ada mengenai perkara yang sejenis, hal ini tidak berarti bahwa sistem peradilan kita sekarang menganut sistem peradilan Anglo Saks (the binding force of precedent), tetapi karena terikatnya hakim pada putusan yang ada mengenai perkara sejenis itu karena putusan itu meyakinkan hakim yang bersangkutan (the persuasive force of precedent).

Quo Vadis Perlindungan Konsumen



Quo Vadis Perlindungan Konsumen
Oleh : Drs. M Sofyan Lubis, SH

Isu paling mengemuka dalam globalisasi adalah penerapan system pasar bebas yang saat ini sedang melaju kencang melanda dunia dengan segala konsekuensinya. Keluar masuknya barang dan jasa melintasi batas negara mempunyai manfaat bagi konsumen dimana konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih barang dan jasa yang ditawarkan, namun disisi lain timbul dampak negatif, yaitu konsumen akan menjadi sasaran/objek aktivitas bisnis para pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Suatu perkembangan baru dalam masyarakat dewasa ini, khususnya di negara-negara maju adalah makin meningkatnya perhatian terhadap masalah perlindungan konsumen, sejalan dengan meningkatnya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Praktek monopoli dan tidak adanya perlindungan konsumen telah meletakkan “posisi” konsumen dalam tingkat yang terendah dalam menghadapi para pelaku usaha (dalam arti yang seluas-luasnya).

Oleh karenanya pihak konsumen yang dipandang lebih lemah hukum perlu mendapat perlindungan lebih besar di banding masa-masa yang lalu. Sehubungan dengan itu di berbagai negara, khususnya di negara-negara maju dan di dunia internasional telah dilakukan pembaharuan-pembaharuan hukum yang berkaitan dengan tanggungjawab produsen ( product liability ), terutama dalam rangka mempermudah pemberian konpensasi bagi konsumen yang menderita kerugian akibat produk yang diedarkan di masyarakat.

Secara khusus yang dimaksud dengan product liability adalah tanggungjawab secara hukum dari orang atau badan hukum yang menghasilkan suatu produk, dan/atau pihak yang menjual produk tersebut dan/atau pihak yang mendistribusikan produk tersebut, termasuk juga disini pihak yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari suatu produk, dan juga termasuk para pengusaha bengkel, pergudangan, para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas.

Bahwa upaya-upaya perlindungan konsumen adalah lebih dimaksudkan untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen dan/atau sekaligus dimaksudkan dapat mendorong pelaku usaha di dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dilakukan dengan penuh rasa tanggungjawab.

Adapun perlunya pengaturan tentang perlindungan konsumen dilakukan dengan maksud sbb : 1) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum ; 2) Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha pada umumnya ;3) Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa ; 4). Memberikan perlindungan kepada konsumen dari paraktik usaha yang menipu dan menyesatkan ; dan 5).Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain ;

Di dalam kehidupan masyarakat sangat banyak hak-hak konsumen sadar atau tidak sadar sering terabaikan atau dilanggar oleh para pelaku usaha, apakah itu terjadi disektor perbankan/di lembaga pembiayaan, jasa telekomunikasi dan transportasi,di SPBU / POM Bensin, maupun dalam penawaran produk barang dan jasa pada umumnya melalui praktek-praktek iklan yang menyesatkan, yang di dalamnya sering terjadi : 1) Iklan Pancingan (Bait and Switch adv) yang sekarang banyak dilakukan oleh pelaku usaha dengan mengedarkan undangan kecalon konsumen untuk mengambil hadiah secara gratis kemudian konsumen dirayu untuk membeli barang dengan discount yang spektakuler padahal harga dan mutu barang sudah dimanipulasi ; 2). Iklan Menyesatkan (Mock-up-adv), dimana pada isi iklan ini keadaan atau keampuhan produk digambarkan dengan cara berlebihan dan menjurus kearah menyesatkan, seperti terjadi pada produk jamu yang banyak diiklankan, umumnya hanya menunjukkan/ mengeksploitasi hal-hal yang bersifat kehebatan dan keberhasilan produk tanpa menginformasikan akibat-akibat buruk dan efek samping yang dapat merugikan konsumen.

Dan sudah menjadi rahasia umum konsumen yang merasa dirugikan enggan melakukan sesuatu atas kerugian yang dideritanya karena ketidak percayaan terhadap “Lembaga Pengadilan”, sekalipun di dalam Pasal 17 ayat (1) UUPK, yang ancaman hukumannya 5 (lima) tahun penjara atau denda Rp.2 Milyard, yang secara khusus mengatur tentang perbuatan yang diberikan pelaku usaha periklanan dengan memproduksi iklan yang dapat : a) Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa ; b) Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c). Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa; d).Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; e). Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; dan f).Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan Perundang-undangan mengenai periklanan. Namun dalam kenyataannya masyarakat konsumen yang dirugikan banyak yang belum tau/mau bagaimana menggunakan haknya.

Dalam UU Perlindungan Konsumen ada tiga lembaga yang berperan dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, yaitu : 1). Menteri dan/atau Menteri teknis terkait yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan; 2).Badan Perlindungan Konsumen Nasional ; dan 3). LSM yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Pada poin 1 dan 2 mewakili pemerintah sedangkan LSM pada poin 3 mewakili kepentingan masyarakat. Untuk penyelesaian sengketa dimungkinkan tanpa melalui Lembaga Peradilan yaitu melalui Lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang terdiri atas unsur-unsur pemerintah, Konsumen, dan Pelaku Usaha.

Sudah barang tentu keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan konsumen Indonesia merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindarkan, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional kita, yaitu pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya.


Pro Kontra Poligami
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Seperti diketahui Polygami adalah seorang laki-laki dibolehkan kawin “lebih dari satu” perempuan yang disukainya (maksimal 4 orang), dimana ketentuan ini dibenarkan dan diatur dalam ajaran Islam terdapat dalam Al Qur’an, surat An Nisa’ khususnya ayat ke-24 ;

Di Indonesia, yang penduduknya mayoritas memeluk agama Islam aturan tentang polygami telah diakomodir dan diautr secara ketat di dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Inspres No.1 tahun 1991 Jo. Kep.Menteri Agama No.154 tahun 1991 tentang pelaksanaan Inspres No.1 tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam, seperti terdapat dalam Buku I, Bab IX pasal 55, 56, 57,58 dan 59 Kompilasi Hukum Islam. Di sini dijelaskan syarat utama bisa berpolygami antara lain : 1) Bisa berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya ; ( secara a-contrario tidak bisa berlaku adil tentu tidak boleh berpolygami [ vide pasal 55 ayat (3) ]. 2) berpolygami harus mendapat ijin dari Pengadilan Agama, artinya tanpa ijin dari Pengadilan Agama perkawinan yang dilakukan tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga anak yang lahir dari hasil perkawinan yang tanpa ijin akan kehilangan hak hukumnya khususnya mengenai hak warisnya ; Pengadilan Agama biasanya akam mengabulkan permohonan polygami dengan syarat : a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri ; b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan ; dan c) isteri tidak dapat memberikan / melahirkan keturunan ; d) adanya persetujuan isteri yang sah ; dan e) adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya ;

Ketentuan polygami dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan ini berlaku secara umum. Adapun untuk kalangan Pegawai Negeri, untuk Polygami lebih sulit lagi, aturan-aturan yang bergitu ketat baik yang terdapat dalam PP No.10 tahun 1983 Jo. PP No.9 tahun 1975 Jo.PP No.45 tahun 1990, dapat diartikan polygami cenderung dilarang bagi kalangan Pegawai Negeri. Bukan hanya sebatas itu, pegawai negeri khusus bagi wanitanya dilarang menjadi isteri kedua dan seterusnya dari seorang pria yang telah beristeri ;

Menyimak maraknya masalah polygami diangkat ke publik akhir-akhir ini yang berawal adanya beberapa Pejabat Publik dan beberapa Tokoh Masyarakat yang melakukan polygami, peristiwa ini pada gilirannya melahirkan sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat khususnya kalangan kaum perempuan. Menanggapi fenomena yang berkembang ini sebaiknya pihak pemerintah tidak perlu meresponnya dengan berlebihan, apalagi berkehendak atau berwacana merevisi UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyangkut polygami. Polygami sebenarnya merupakan keadaan darurat yang merupakan hak laki-laki yang diberikan Tuhan kepada kita, sehingga kita semua sebagai ummat Islam haruslah dapat menghormatinya dengan legowo. Cuma, kita perlu untuk mengaturnya secara ketat agar tidak secara serampangan dilakukan setiap laki-laki untuk berpolygami. Inspres No.1 Tahun 1991 khususnya yang terdapat dalam Buku I tentang Perkawinan, sudah cukup baik mengatur polygami agar tidak dilakukan pihak laki-laki secara serampangan, sehingga pihak perempuan tidak perlu risau. Jika seorang wanita tidak bisa memberikan keturunan kepada suaminya ditambah lagi menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan sehingga ia tidak dapat menjalankan sebagai isteri terhadap suaminya, sementara pintu polygami ditutup tentu akan menimbulkan kerawanan dan dikhawatirkan akan muncul masalah hukum yang baru.

Dalam kenyataannya toh tidak sedikit ada isteri yang secara sportif dan legowo malah mendorong suaminya agar kawin lagi (polygami), guna sang suami dapat memperoleh keturunan, karena pihak isteri tahu bahwa salah satu tujuan utama perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan. Peristiwa ini dapat dikatakan adalah salah satu contoh keadaan darurat yang dialami pihak suami, sehingga ia memerlukan polygami. Oleh karenanya hal yang menyangkut polygami ini perlu ada undang-undang yang mengaturnya sebagaimana yang ada selama ini.

Adanya wacana untuk menutupnya ( baca : berpolygami ) dengan lahirnya wacana untuk merevisi undang-undang perkawinan yang diberlakukan secara umum yang isinya cenderung melarang polygami bagi masyarakat luas, adalah merupakan pelanggaran terhadap hukum Tuhan yang terdapat di dalam Al Qur’an sebagaimana disebut di atas, dan merupakan pelanggaran hak asasi “keadaan darurat” pihak laki-laki. Karena polygami sudah sangat cukup jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan kita, sebaiknya pro-kontra tentang polygami segera diakhiri agar tidak menjadi inspirasi untuk didramatisasi atau dipolitisasi oleh para politikus-politikus kita. Masih banyak hal-hal lain yang mendesak untuk dipikirkan bangsa ini, dan kita tidak berharap isue polygami sampai menyingkirkan atau mengalahkan isue tentang pemberantasan korupsi yang masih jauh dari harapan, isue lumpur Lapindo di Sidoarjo, isue Penanggulangan Bencana Alam yang datang silih berganti sampai detik ini, serta isue-isue lain yang menyangkut keterpurukan bangsa ini. Semoga.

KUHAP Tidak Mengenal Putusan Bebas Tidak Murni

KUHAP Tidak Mengenal Putusan Bebas Tidak Murni
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.
Pasal 244 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Pasal 244 KUHAP ini adalah satu-satunya landasan hukum untuk melakukan upaya hukum kasasi di dalam perkara pidana, dan seperti kita ketahui jika disimak di dalam pasal tersebut kata demi kata tidak ada kata-kata yang menerangkan putusan ‘bebas murni’ atau ‘putusan bebas tidak murni’. Bahwa memang semua putusan Pengadilan, khususnya dalam peradilan pidana terhadap pihak-pihak yang tidak puas dapat dilakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa berupa Banding dan Kasasi, maupun upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (herziening) sebagaimana diatur di dalam Bab XVII dan Bab XVIII UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.

Namun khusus untuk putusan bebas dalam pengertian “Bebas Murni” yang telah diputuskan oleh judexfactie sesungguhnya tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Ketentuan ini ditegaskan di dalam pasal 244 KUHAP sebagaimana dikutip di atas. Namun dalam praktiknya Jaksa/Penuntut Umum selalu tidak mengindahkan ketentuan ini, hampir semua putusan bebas (bebas murni) oleh Penuntut Umum tetap dimajukan kasasi. Jika dicermati sebenarnya di dalam pasal 244 KUHAP tidak membedakan apakan putusan bebas tersebut murni atau tidak, yang ada hanya “Putusan Bebas”. Tapi dalam praktiknya telah dilakukan dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau bebas tidak murni, entah dari mana dan siapa yang melakukan dikotomi per istilah an tersebut. Yang jelas Penuntut Umum beranggapan putusan yang ‘bebas tidak murni’ dapat dilakukan upaya hukum kasasi.

Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain : 1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”.

Sedangkan dalil hukum yang digunakan Jaksa/Penuntut Umum dalam memajukan kasasi terhadap putusan bebas adalah selalu sama yaitu mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang di dalam butir ke-19 TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “ Terdahadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan yurisprudensi ”.

Intinya TPP KUHAP ini menegaskan perlunya Yurisprudensi yang dijadikan rujukan atau referensi untuk mengajukan kasasi terhadap putusan bebas. Jadi kalau dipertanyakan apa kriteria TPP KUHAP terhadap kalimat “.. berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi.” TPP KUHAP tidak memberikan kriteria yang tegas selain hanya berdasarkan penafsiran sepihak dari Jaksa/Penuntut Umum. Padahal kita sangat tahu betul bahwa TPP KUHAP adalah merupakan Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) dan Keputusan Menteri Kehakiman ini derajadnya jauh di bawah Undang-undang, dalam hal ini adalah UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP yang merupakan produk Legislatif dan eksekutif. Sehingga TPP KUHAP yang berkaitan tentang itu isinya bertentangan dengan KUHAP itu sendiri, sehingga upaya hukum yang dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas adalah cacat hukum dan tidak boleh ditoleransi.

Secara hukum dapat dipastikan TPP KUHAP dan Yurisprudensi tidak cukup kuat atau tidak dapat lagi dijadikan dalil hukum bagi Jaksa/Penuntut Umum untuk melakukan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana dimaksud di dalam pasal 244 KUHAP tersebut, karena TPP KUHAP yang merupakan produk Keputusan Menteri Kehakiman dan Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap yang telah menjadi yurisprudensi sejak tahun 2000 bukan merupakan sumber tertib hukum yang berlaku di Indonesia.

Dalam TAP MPR RI No. III tahun 2000 telah menetapkan Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai Sumber Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu : 1) UUD 1945 ; 2) Ketetapan MPR RI ; 3) Undang-undang ; 4).Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perpu) ; 5).Peraturan Pemerintah ; 6) Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur ; dan 7). Peradturan daerah ;.

Yurisprudensi dalam putusan bebas tidak dapat dijadikan dalil hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum, apalagi jika mengingat banyaknya Hakim di dalam memutuskan suatu perkara menganut asas “opportunity” yang pada gilirannya mengakibatkan tidak tegasnya apakah yurisprudensi dapat menjadi sumber hukum atau tidak. Dimana hal ini terjadi dikarenakan di satu sisi mereka (Hakim) dalam memutus perkara mengikuti aliran Legisme, dengan alasan tidak boleh menyimpang dari apa yang diatur oleh Undang-undang, namun di lain sisi mereka mengikuti Aliran “Rechtsvinding” dengan alasan menyelaraskan Undang-undang dengan tuntutan zaman. Bahkan tidak jarang terjadi di dalam praktiknya asas “opportunity” melahirkan kecenderungan didasarkan pada kepentingan pribadi dari Hakim yang bersangkutan, sehingga sudah saatnya kedudukan “Yurisprudensi” harus ditertibkan kepada tujuannya semula yaitu, Yurisprudensi hanya dapat dijadikan referensi dan berguna untuk mengisi kekosongan hukum ketika dalam suatu perkara atau upaya hukum belum ada aturan hukum atau Peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengaturnya.

Tegasnya dalil hukum yang dijadikan dasar oleh penuntut umum untuk selalu memajukan kasasi terhadap “putusan bebas”, di samping bertentang dengan TAP MPR RI No.III tahun 2000 tentang Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia, juga bertentang dengan Asas Hukum Universal yaitu, Lex superior derogat legi lex inferiori (asas yang menegaskan bahwa hukum yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan hukum yang lebih rendah kududukannya ) OK

PERKEMBANGAN NORMA, ETIKA SOSIAL SEBAGAI SUMBER PENEMUAN HUKUM


PERKEMBANGAN NORMA, ETIKA SOSIAL SEBAGAI SUMBER PENEMUAN HUKUM DALAM HUBUNGAN DENGAN HUKUM KESEHATAN



Oleh :
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.

            Penemuan hukum dalam hubungannya dengan hukum kesehatan pada dasarnya tidak ada bedanya dengan penemuan hukum dalam bidang-bidang hukum lain seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata Negara dan sebagainya. Tidak ada yang khusus atau istimewa dengan penemuan hukum pada hukum kesehatan bila dibandingkan dengan penemuan hukum pada bidang-bidang lainnya.
            Di dalam hukum acara, baik pidana maupun perdata dikenal adanya dua tahap, yaitu tahap menemukan peristiwa konkrit dan tahap menemukan hukum yang meliputi menemukan peristiwa hukumnya dan menemukan hukumnya yang akan diterapkan terhadap peristiwa hukum tersebut. Dua tahap itu harus secara sadar dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, oleh karena tahap-tahap itu merupakan rangkaian kegiatan yang berurutan bahkan terjalin satu sama lain.
            Peristiwa konkritnya harus diketemukan lebih dahulu. Untuk menemukan peristiwa konkritnya harus dilakukan pembuktian. Jadi penemuan hukum konkrit berlangsung dengan pembuktian.
            Setelah peristiwa konkritnya dibuktikan, yang berarti diketemukan atau dikonstatir peristiwa konkritnya, maka peristiwa konkrit itu harus dikualifikasi atau diterjemahkan menjadi peristiwa hukum agar hukum atau undang-undang dapat diterapkan. Peristiwa konkrit tersebut harus diberi kualifikasi hukumnya atau terjemahan dalam bahasa hukum. Undang-undang atau hukumnya tidak dapat secara langsung diterapkan pada peristiwa konkrit. Peristiwa konkrit atau das Sein harus diterjemahkan dalam bahasa hukum terlebih dahulu, sehingga menjadi peristiwa hukum agar undang-undang atau das Sollen dapat ditetapkan.
            Jadi penemuan hukum bertujuan menemukan peristiwa hukumnya dan hukumnya untuk diterapkan. Mengapa hukumnya harus diketemukan? Oleh karena hukumnya tidak lengkap atau tidak selalu jelas. Tidak ada hukum undang-undang yang lengkap selengkap-lengkapnya atau selalu jelas.
            Penemuan hukum itu mempunyai aturan permainan. Jadi menemukan hukum tidak berarti asal menemukan hukum menurut kehendak.
            Dalam ajaran penemuan hukum dikenal adanya sumber-sumber hukum. Sumber-sumber hukum itu adalah : peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian international dan doktrin.
            Sumber-sumber hukum itu mengenal hierarkhi atau kewedaan, artinya kalau kita hendak mencari suatu pengertian hukum misalnya maka haruslah dicari terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Kalau tidak ada barulah kita cari dalam hukum kebiasaan. Kalau dalam hukum kebiasaan tidak ada, maka dicarilah dalam yurisprudensi. Kalau dalam disitupun tidak ada kita cari lebih lanjut dalam perjanjian international dan selanjutnya. Jangan sampai terjadi: dicari dalam peraturan perundang-undangan saja belum sudah dicari dalam doktrin.
            Kecuali itu dalam menemukan hukum yang perlu juga diperhatikan ialah bahwa kalau itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undang tidak selalu berarti bahwa hal itu dibolehkan atau dilarang.
            Sumber hukum yang disebutkan diatas adalah sumber formil hukum. Hukum tidak hanya berwujud kaedah saja tetapi dapat berwujud perilaku. Dalam perilaku manusia terdapat hukum. Oleh karena itu perilaku manusia merupakan sumber formil hukum. Perilaku manusia merupakan dapat bersifat pasif, yaitu sikap (iktikad baik) dan bersifat aktif misal membuat perjanjian.
            Etika sosial menurut hemat saya adalah pedoman atau kaedah yang berisi ukuran untuk menilai tindakan manusia di dalam masyarakat.
            Dari apa yang diuraikan di atas maka kaedah (norma) dan perkembangannya serta etika sosial merupakan sumber hukum.
            Apa hubunganya perkembangan norma dan etika sosial sebagai sumber penemuan hukum dengan hukum kesehatan? Telah dikemukakan di atas bahwa pada dasarnya hubungannya sama dengan bidang-bidang hukum lainnya, tidak ada keistimewaannya, tetapi akan dicoba disini mencari hubungannya.
            Masih jelas dalam ingatan kita peristiwa dr. Setianingrum binti Siswoko dari Pati yang diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Pati tanggal 2 September 1981, karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia dan dijatuhi hukuman percobaan tiga bulan penjara.
            Sekalipun dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pati tersebut (2-6-84), tetapi putusan Pengadilan Negeri Pati dan Pengadilan Tinggi Semarang yang menguatkannya sudah terlanjur menimbulkan keresahan dilingkungan para dokter. Lebih-lebih lagi karena kemudian terjadi beberapa perkara serupa yang diputus oleh Pengadilan Negeri. Bahkan akhir-akhir ini ada beberapa berita surat kabar yang menggelisahkan tentang dokter yang menyuntik anak yang menimbulkan akibat yang tidak diharapkan.
            Timbulnya keresahan dikalangan para dokter dapat dipahami, karena pada umumnya tidak banyak dokter yang memahami hukum. Jangankan memahami, tertarik atau perhatian pada hukum saja tidak. Bahwa hukum itu bertugas mengaur dan melindungi kepentingan manusia barangkali dipahami. Bahwa dokter menghendaki kepastian hukum akan perlindungan kepentingannya itu sadar betul. Akan tetapi sebaliknya  seperti orang kebanyakan pada umumnya, karena kurang pengetahuannya tentang hukum, tidak mau terlalu diikat peraturan-peraturan hukum. Jadi sebagian besar para dokter menghadapi suatu dilema: disatu sisi ingin perlindungan dan kepastian hukum, tetapi disisi lain tidak mau terlalu diikat oleh peraturan-peraturan.
            Kalau memahami hukum kiranya tidak perlu melihat sebagai suatu dilema. Perlu disadari bahwa hukum itu bertujuan mengatur tatanan masyarakat dan bertugas melindungi kepentingan manusia dan masyarakat serta menjamin kepastian hukum dan mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Melindungi kepentingan manusia dan masyarakat berarti menuntut dan mengharapkan pengorbanan dari anggota masyarakat.
            Dalam hubungan dokter-pasien kepentingan kedua belah pihak dilindungi oleh hukum.
            Hubungan dokter-pasien dikenal inspanningsverbintenis, yang berarti bahwa prestasi dokter tidak dilihat pada hasilnya (resultaatnya), tetapi yang dilihat adalah upaya atau usahanya untuk menyembuhkan itu sungguh-sungguh tidak. Kalau sudah berupaya keras untuk menyembuhkan, tetapi akhirnya tidak berhasil, maka hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter. Sebaliknya ada hak pada pasien yang perlu diperhatikan oleh dokter juga, yaitu right of selfdeterminationright of healthcare dan right of information.
            Dari segi hukum dokter dan pasien masing-masing mempunyai kedudukan yang sama, kedudukan yang sama dalam memperolarh hak atas perlindungan.
            Kesimpulan
            Kaedah itu bersifat dinamis, selalu berkembang. Jadi norma yang berkembang merupakan sumber hukum. Demikian pula etika sosial, yang merupakan kaedah juga, merupakan sumber hukum.
            Dalam hubungannya dengan hukum kesehatan norma yang berkembang dan etika sosialpun merupakan sumber hukum.
Yogyakarta, 5 April 1995
*Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Hukum Kesehatan dan Malpraktek Di Indonesia pada 5 April 1995 di Fakultas Hukum Muhammadiyah Yogyakarta.

Rabu, 19 Februari 2014

PENGEMBANGAN YURISPRUDENSI TETAP

   oleh
                                             Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.
          Sumber hukum yang dikenal selama ini adalah kebiasaan, undang-undang, yurisprudensi, hukum perjanjian internasional dan doktrin.
           Dalam ajaran penemuan hukum undang-undang diprioritaskan dari sumber-sumber hukum lainnya. Undang-undang didahulukan dari sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari arti istilah atau pengertian hukum, maka dicari terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan, kalau ternyata tidak ada, maka barulah dicari dalam yurisprudensi, kalau dalam yurisprudensi tidak terdapat, maka barulah dicari dalam hukum kebiasaan dan begitu seterusnya. Hal ini dapat difahami, karena di samping undang-undang itu bersifat umum yang berarti berlaku bagi setiap orang, bentuknya tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu dapat difahami pula munculnya aliran legisme dalam penemuan hukum yang menganggap bahwa undang-undang adalah satusatunya sumber hukum. Aliran ini kemudian mengalami perkembangan.
             Di dalam praktek ternyata prosedur atau uruturutan dalam ajaran penemuan hukum tersebut sering tidak diperhatikan. Orang misalnya tidak lari kepada peraturan perundang-undangan terlebih dahuludalam menemukan hukumnya, tetapi langsung mencarinya dalam doktrin, sehingga penemuan hukumnya tidak tepat.
               Jadi undang-undang mempunyai kedudukan yang penting dalam penemuan hukum.
Sebaliknya perlu diketahui, bahwa di samping undang-undang itu umum dan abstrak sifatnya ("Barangsiapa .. . "), sifatnya juga pasif. Pasif berarti menunggu terjadinya suatu peristiwa konkrit untuk dapat dilaksanakan. Undang-undang aktif, baru hidup, baru dapat dilaksanakan apabila terjadi peristiwa konkrit. mencuri dihukum". Ketentuan undang-undang ini baru dapat dilaksanakan apabila seseorang mengambil barang orang lain dengan maksud memilikinya dengan melawan hukum. Baru dengan terjadinya peristiwa konkrit itu undang-undang menjadi aktif, hidup, mempunyai kekuasaan dan dapat dilaksanakan. Jadi undang-undang memerlukan "aktivator" berupa peristiwa konkrit, agar undang-undang itu dapat diterapkan pada peristiwanya, agar dapat dilaksanakan. Tanpa terjadinya suatu peristiwa konkrit pada hakekatnya undang-undang "ist nur ein Plan", sekedar merupakan pedoman yang berisi peringatan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan atau diterapkan terhadap peristiwanya.
Undang-undang itu sendiri, karena sifatnya yang statis tidak dapat setiap saat berkembang, berubah atau diubah sesuai atau mengikuti perkembangan masyarakat, tetapi harus melalui prosedur yang waktu lama.
Karena undang-undang itu statis, maka pelaksanaan dan perkembangannya terjadi melalui peradilan dengan putusan pengadilan atau yurisprudensi. Dengan penemuan hukum maka hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan dilaksanakan dan dikembangkan oleh peradilan dengan yurisprudensi sesuai atau mengikuti perkembangan masyarakat.
             Walaupun sekarang ini banyak produk legislatif dari zaman Hindia Belanda, yang bersifat kolonial itu (tidak semua yang bersifat kolonial itu selalu tidak baik!), masih berlaku, namun pelaksanaan dan pengembangan terjadi melalui peradilan nasional Indonesia. Hal ini tidak berarti bahwa dewasa ini tidak perlu ada perubahan, penggantian, penghapusan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan, baik peraturan perundang-undangan kolonial maupun nasional. Dewasa ini tidak sedikit peraturan perundang-undangan baik yang berasal dari zaman kolonial maupun yang nasional yang perlu diganti. Hanya kalau sekiranya diinginkan adanya penggantian atau penghapusan peraturan perundang-undangan, terutama yang kolonial, maka harus ada motivasi yang kuat akan urgensi kebutuhan akan adanya penggantian atau penghapusan itu, baik untuk mengatasi masalah yang selama ini timbul dan tidak tertampung oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (respresif) maupun untuk mencegah atau menangkal kemudian terjadi masalah-masalah baru(preventif). Jadi tidak sekedar ingin karena yang ada bersifat kolonial, sudah tua, tidak sesuai lagi atau karena ingin sesuatu baru. Kecuali itu harus diperhatikan tetap adanya kontinuitas antara peraturan perundang-undangan yang lama dengan yang baru dan penyusunannya harus koordinatif dengan instansi-¬instansi yang terkait serta menyeluruh dan tidak bersifat tambal sulam.
Jadi yurisprudensi (judge-made-law) mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan pengembangan hukum.
        Didalam sistem peradilan kita asasnya ialah bahwa hakim tidak terikat pada putusan hakim yang ada mengenai perkara yang sejenis. Hakim tidak ada keharusan untuk memutus suatu perkara sama dengan putusan hakim yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang sejenis. Jadi pada asasnya hakim bebas untuk memutus setiap perkara menurut keyakinannya tanpa harus berkeblat kepada putusan yang ada mengenai perkara yang sejenis. Di satu pihak hakim memang bebas, hal mana memenuhi salah satu asas peradilan, tetapi di lain pihak timbul pertanyaan apakah asas ini menjamin kepastian hukum. Kalau setiap tahkim memutus menurut keyakinannya masing-masing tanpa mengingat adanya putusan mengenai perkara sejenis yang ada, sehingga memungkinkan dijatuhkannya dua perkara atau lebih yang sejenis yang diputus berbeda, apakah hal ini menunjukan adanya kepastian hukum? Di dalam perkembangannya sekarang ini kita lihat bahwa banyak putusan yang berkeblat kepada putusan pengadilan atasannya (PT, MA). Hal ini bukan berarti bahwa hakim Indonesia sekarang ini terikat pada putusan hakim yang ada mengenai perkara yang sejenis, hal ini tidak berarti bahwa sistem peradilan kita sekarang menganut sistem peradilan Anglo Saks (the binding force of precedent), tetapi karena terikatnya hakim pada putusan yang ada mengenai perkara sejenis itu karena putusan itu meyakinkan hakim yang bersangkutan (the persuasive force of precedent).